Kamis, 18 Oktober 2018

Ki Hajar Dewantara (Kesadaran Mengenali Diri Sendiri)


Pada kuliah filsafat pendidikan kali ini kita mereview pembelajaran minggu lalu tentang Ki Hajar Dewantara yang diampu oleh bapak Aniq KHB, S.Pd.,M.Hum. Pada hari Selasa 16 Oktober 2018 beliau menyampaikan mengatur diri sendiri atau mengenali diri sendiri itu susah. 

Kesadaran mengenali tarbiyah diawali kesadaran dari diri sendiri. Kenalilah diri sendiri. Barangsiapa yang mengenali diri sendiri maka dia memahami Tuhan. Tapi pada kenyataannya mengenali diri sendiri sangat susah. Lebih mudah ketika kita menunjuk orang lain daripada menunjuk diri sendiri.

Ki Hajar Dewantara  mengemukakan pendapat bahwa “ Manusia adalah titah tuhan yang terdiri atas raga kasar dan raga halus, yang dimaksud raga disini yaitu adalah jasmani (dapat dilihat dengan mata) sedangkan raga halus yaitu rohani (tidak dapat dilihat dengan mata).

Identitas dan Personalitas ? Nah disini saya akan menjelaskan pebedaannya. Secara harfiah Identitas berasal dari bahasa inggris yaitu identity, dapat diartikan sebagai ciri-ciri, tanda atau jati diri. Dimana hal itu mungkin adalah sebuah cara pemikiran seseorang dalam kepribadiannnya. Sebagai contoh misalnya, semasa berkuliah saya mengambil studi program komunikasi, namun pada akhirnya saya memilih untuk berprofesi sebagai bankir yang bukan merupakan background pendidikan saya. Identitas merupakan sesuatu yang dipilih, bukan dipaksakan. Sedangkan Personalitas adalah siapa nama kita, dimana rumah kita, siapa oang tua kita.


Pendidikan



      |

    Diri      =       Dzat
                 

                             | 

  Sifat

     |

                        Asma (Realitas)

                             |

                                    Af’al (Tindakan)


Contoh : Sifat    =>   Sayang
               Asma  =>   Penyayang
               Af’al  =>   Menyayangi

Kamis, 04 Oktober 2018

KI HAJAR DEWANTARA



 KI HAJAR DEWANTARA



Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1889–26 April 1959) adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Beliau mendirikan perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Pendiri Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Kesimpulan
“Bahwa pendidikan merupakan usaha perjuangan kebudayaan yang ditujukan membangun pribadi anak didik ke arah hidup merdeka mandiri sesuai garis kodratnya dengan cara sistem among, yang implementasinya mengusahakan anak didik dari natur ke kultur dengan cara Tut Wuri Handayani, yakni memberikan arah agar anak mengembangkan cipta, rasa dan karsa sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa dan itu merupakan kodrat alamnya anak, serta bersama anak didik memberikan motivasi atau ing madyo mangun karso dan ing ngarso sung tulodo dimana guru menempatkan diri sebagai teladan."